JIHAD( Salah Kaprah Dalam Memperjuangkan Islam )


Masalah Aktual Perjuangan Islam dari Landasan Perjuangan, Isu Terorisme sampai Bom Bunuh Diri
Bagian Kedelapan
Oleh: Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz
Kewajiban Muslim untuk Menghadapi Orang-orang yang Akan Merusak Keamanan Masyarakat dan Mengintimidasi Orang-orang yang Berada dalam Keadaan Aman
Fadhilah asy-Syaikh al-‘Allamah Abdullah bin Jibrin (Ket : Majmu' Fatawa wa Rasail, karya Syaikh Ibnu Jibrin, bab al-‘Aqidah (Juz VIII).), ditanya, "Apa kewajiban seorang Muslim untuk menghadapi orang-orang yang akan merusak keamanan masyarakat dan mengintimidasi orang-orang yang berada dalam keadaan aman. Mereka mencoba untuk merusak keamanan dan ketenteraman masyarakat Muslim? Apa kewajiban seorang Muslim untuk menghadapi orang yang diketahui bahayanya dan kemudaratannya terhadap masyarakat, dan ia merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah ini, dan ia berusaha untuk memerangi, menghancurkan, dan memecah belah kaum Muslimin?
Jawabannya:
Tidak diragukan bahwa seorang Muslim yang Mukmin, maka keimanannya akan membawanya untuk mencintai secara tulus Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan masyarakat umumnya.
(Ket : Dari hadis Tamim ad-Dari, ia berkata bahwa Rasulullah a bersabda, "Agama itu nasihat {ketulusan cinta}-(beliau mengulangnya tiga kali)- untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Nabi-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan masyarakat umum." Dikeluarkan oleh Muslim, hadis no.55.) Disadari bahwa ia berhutang kepada masyarakatnya yang Muslim untuk memberikan cinta dan keikhlasan dalam muamalah (berinteraksi), dan mencegahnya dari berbuat zalim, kemudharatan, serta berbuat keburukan bagi masyarakat Muslim yang mempunyai hak atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ بُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَ خِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak dianggap beriman salah seorang dari kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.13, Muslim hadis no,45, dari hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Maknanya, bahwa keimanan seorang Mukmin akan membawanya untuk mencintai saudaranya, berbuat kebaikan kepada mereka, serta menjauhkan keburukan dari mereka. Maka ketika salah seorang dari mereka tidak memberi rasa aman bagi negerinya atau merusak ketenteramannya, hal itu merupakan indikasi dari kelemahan imannya, kurangnya penghormatannya kepada kaum Muslimin, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian dan kedendaman kepada negerinya dan warga negaranya.
Sifat-sifat tersebut akan mengeluarkannya dari al-Ukhuwah ad-Diniyyah (persaudaran karena agama), dan menjauhkannya dari sifat amanah dan dapat dipercaya. Jika ada warga negara sampai kepada kondisi buruk seperti ini, maka kaum Muslimin seluruhnya harus membencinya, mencegah perbuatan kejinya, berhati-hati jangan sampai percaya kepada ucapannya, mempercayainya, dan jangan dekat dengannya, sehubungan ia dianggap sebagai warga negara yang lumpuh. Hal demikian karena Allah telah mengikat persaudaraan di antara kaum Muslimin. Allah menyebutkan mereka dalam firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara." (al-Hujurat: 10) dan firman-Nya, "Dan jadilah kalian dengan nikmat-Nya itu menjadi bersaudara." (Ali Imran: 103)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguatkan hal itu dengan sabdanya, "Seorang Muslim adalah saudaranya yang Muslim, ia tidak boleh menzaliminya, menghinanya, menyerahakannya. Cukuplah keburukan seorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim bagi Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (Dikeluarkan Bukhari hadis no.2442, Muslim hadis no.2580, dari hadis Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma.)

As-Sunnah datang dengan syari'atnya yang menguatkan persaudaraan ini, seperti Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Seorang Muslim kepada Muslim lainnya mempunyai enam hak yang harus dilakukan dengan baik; memberi salam apabila berjumpa dengannya; memenuhi undangannya; mendoakannya jika bersin; mengunjunginya jika sakit, mengantarkan jenazahnya jika ia meninggal, dan mencintainya seperti ia mencintai dirinya." (Ket : Dikeluarkan aT-Turmudzi no.2736, Ibnu Majah no.1433, dari hadis Ali bin Abi Thalib RA. At-Turmudzi berkata, "Ini hadis hasan." Dan ia berkata, "Dalam satu bab dari Abu Hurai-rah, dari Abu Ayub, dan dari al-Bara dan Ibnu Mas'ud." Dikeluarkan at-Turmudzi no.2737 dari hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan lafazd, "Seorang mukmin bagi mukmin lainnya mem-punyai enam hak.., Ia berkata, "Ini hadis hasan shahih.)
Maka renungkanlah bimbingan Nabawiyyah ini yang datang bersama syari'at yang harus diamalkan oleh seorang Muslim terhadap saudaranya yang Muslim. Demikian pula Islam datang dengan membawa kebaikan yang bersifat umum dan memerintahkannya untuk dikerjakan hingga kepada non Muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa membunuh orang yang terikat perjanjian damai, maka ia tidak akan dapat mencium wanginya surga." Ketika Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga, maka hal ini menjadikan seorang tetangga mempunyai hak-hak bertetangga.
Bimbingan Nabawiyyah ini menjelaskan bahwa agama ini datang untuk menguatkan kecintaan dan persaudaraan, serta memperingatkan dari hal-hal yang dapat menghilangkannya dari bentuk-bentuk kemudharatan dan gangguan terhadap ketenteraman. Sesungguhnya orang yang memudharatkan seorang Muslim, ia akan dimudharatkan Allah, dan barangsiapa menyulitkan seorang Muslim, ia akan disulitkan Allah. (Ket : Lafadz ini dari hadits yang dikeluarkan at-Turmudzi no.1940, Abu Daud no.3635, Ibnu Majah no.2342, dari hadits Shuramah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa suka memudharatkan maka akan dimudharatkan Allah, dan barangsiapa suka menyulitkan akan disulitkan Allah.") Dan orang yang suka menipu bukan termasuk kaum Muslimin. (Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, di dalamnya ada lafadz, "Barangsiapa yang menipu, maka dia bukan dari golongan ku". Di keluarkan oleh muslim no. 102)
Maka wajib bagi setiap individu ahli Islam (Muslim) untuk mengetahui hak-hak saudaranya dan tetangganya, agar berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada saudaranya, bersedia menasihati pemerintahnya dan para pemimpinnya dengan memberi peringatan terhadap adanya keburukan dan kerusakan agar mereka dapat segera menangkap para perusak itu dan memberi hukuman kepada mereka, sehingga kerusakan dan pelakunya dapat dibasmi. Allahlah tempat memohon pertolongan."
Sebagai penutup, wahai saudaraku sesama Muslim!!,
Sesungguhnya beratus-ratus contoh yang terjadi di dunia Islam setiap harinya dapat kita saksikan dan kita dengar melalui media komunikasi dan informasi; di sini terjadi ledakan, di sana pembunuhan, dan di tempat lainnya terjadi perampasan, dan seterusnya. Peristiwa-perisiwa ini menunjukkan terhadap betapa banyaknya orang yang tidak memahani al-Qur'an dan as-Sunnah, dan hidupnya tidak berdasarkan manhaj salafush shaleh radhiallahu ‘anhum.
Penutup.
Kerugian kaum Muslimin adalah jika mereka dikuasai musuh, sehingga dakwah menyeru ke jalan Allah menjadi terhalang. Allah adalah tempat memohon pertolongan dan kepada-Nya kita bergantung. Kita tidak mengatakan kecuali, "Ya Allah, kami memohon keteguhan pada kebenaran."
KEEMPAT : FENOMENA PENDUDUKAN, DEMONTRASI, REVOLUSI RAKYAT, DAN PEMOGOKAN
Di antara cobaan yang menimpa masyarakat Islam saat ini adalah adanya kelompok-kelompok atau partai-partai yang melakukan pendudukan dengan duduk-duduk di masjid-masjid, jalan-jalan, lapangan-lapangan umum, atau di sebagian gedung-gedung pemerintah. Mereka pun melakukan apa yang dinamakan pemogokan, yaitu mereka tidak makan, tidak minum dan tidak bekerja selama beberapa hari atau beberapa jam yang sudah ditentukan. Tujuan mereka melakukan pemogokan adalah untuk menekan pemerintah agar bersedia memenuhi permintaan mereka atau apa yang mereka tuntut.
Mereka pun melakukan pemberontakan rakyat, melakukan pemukulan terhadap ini, menyakiti terhadap itu, memecahkan bangunan-bangunan berkaca, kaca-kaca mobil, dan yang lainnya termasuk melakukan peledakan. Mereka menyangka bahwa dengan hal itu mereka sedang berkhidmat kepada Islam. Padahal sebenarnya mereka sedang memudharatkan kaum Muslimin, menguasakan pemerintah atas mereka, merusak dakwah ke jalan Allah, dan yang lainnya dari bentuk perusakan atau kemudharatan.
Yang mulia al-‘Allamah Ibnu Baz ditanya (Ket : Dinukil dari kaset berjudul Muqtathofat min Aqwalil Ulama.), "Apakah demontrasi yang dilakukan kaum pria dan wanita untuk menentang pemerintah dan para penguasa, dianggap sebagai suatu sarana dari sarana-sarana dakwah? Dan apakah orang yang meninggal pada kegiatan tersebut dianggap syahid di jalan Allah?"
Ia menjawab, "Saya tidak melihat bahwa demontrasi yang dilakukan kaum pria dan wanita itu merupakan cara menyelesaikan masalah, bahkan hal itu dapat menimbulkan fitnah, menjadi penyebab keburukan, menjadi penyebab penganiayaan terhadap sebagian orang, dan menyerang sebagian orang tanpa alasan yang benar. Tetapi yang dibenarkan menurut syari'ah adalah memberikan surat (peringatan secara tertulis), memberikan nasihat, berdakwah (mengajak kepada) kebajikan dengan cara yang benar. Inilah jalan yang ditempuh oleh para ahli ilmu, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan para pengikutnya yang dilakukan dengan cara yang baik. Yaitu dengan cara menyampaikan secara tertulis atau secara lisan terhadap orang yang bersalah, para pejabat, atau terhadap para penguasa. Juga de-ngan menghubunginya, menasihatinya, dan mengirim surat kepadanya, tanpa harus mencelanya di mimbar-mimbar atau selainnya, dengan menyebarkan apa yang telah diperbuatnya dan akibat yang ditimbulkannya. Allah-lah tempat kami memohon pertolongan."
Fadhilah asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya, "Apakah hukumnya melakukan mogok kerja di negeri Muslim untuk menuntut jatuhnya sistem sekuler?"
Ia menjawab, "Pertanyaan ini tidak diragukan sangat penting dan sebagai pengarahan bagi para pemuda Muslim. Hal itu disebabkan bahwa keputusan untuk mogok kerja, baik pekerjaan yang bersifat khusus atau pekerjaan di bidang-bidang pemerintahan, saya tidak tahu masalah ini ada dasarnya dalam syari'ah yang dapat dijadikan patokan. Tidak diragukan bahwa perbuatan ini dapat mengakibatkan banyak kemudharatan sesuai dengan kadar mogok kerjanya yang dilakukan secara merata dan sesuai dengan motif mogok kerja ini. Juga tidak diragukan bahwa hal ini merupakan salah satu cara untuk menekan pemerintah. Adapun yang dimaksud dalam pertanyaan tersebut adalah tentang menjatuhkan faham sekuler. Untuk menjawab hal ini kita harus membuktikan dulu bahwa sistemnya sekuler. Kemudian, jika persoalan tersebut demikian adanya, maka ketahuilah bahwa penentangan terhadap pemerintah tidak boleh, kecuali dengan beberapa syarat. (Baca kembali syarat-syarat ini dalam kitab "ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat", halaman 287.)
Fadhilah al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya lagi, "Setelah pemogokan ini dilakukan, tetapi tidak mendatangkan hasil. Apakah diperbolehkan [untuk menentang] sistem sekuler ini dengan cara mengobarkan revolusi rakyat?" ("Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat", karya Ibnu ‘Utsaimin, hal 288-289)
Ia menjawab, "Saya berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pemberontakan rakyat untuk menyelesaikan masalah ini. Dikarenakan seperti yang sudah dimaklumi bahwa kekuatan riil ada di tangan pemerintah. Pemberontakan rakyat bagi pemerintah tidak memiliki apa-apa kecuali pisau dapur atau tongkat Pengembala. Senjata seperti ini tidak bisa menghadapi tank-tank baja dan berbagai macam senjata. Tetapi memungkinkan untuk melakukannya dengan cara lain jika syarat-syarat yang sudah dikatakan dapat dipenuhi. Dan seharusnya tidak terburu-buru untuk menyelesaikan masalah ini, karena negeri yang telah bertahun-tahun dijajah tidak mungkin untuk dirubah dalam sehari semalam menjadi suatu negeri yang Islami. Tetapi yang seharusnya adalah mengambil nafas panjang untuk meraih cita-cita.
Jika seorang manusia membangun sebuah istana, sesungguhnya ia telah membangun dasarnya. Walaupun pada akhirnya ia menempatinya atau bahkan meninggal sebelum menempatinya. Yang penting adalah membangun bangunan yang Islami, walaupun hal itu tidak bisa terwujud kecuali setelah bertahun-tahun. Karena itu, saya berpendapat agar jangan terburu-buru untuk menyelesaikan persoalan seperti ini, dan tidak perlu mengobarkan pemberontakan rakyat Yang mayoritas adalah seperti burung beo yang tidak tegar dalam prinsip. Jika angkatan bersenjata datang ke sebuah kampung dan mengobrak abriknya, tentu yang lain akan mundur dari perjuangannya."
Fadhilah al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya lagi, Pemogokan dan perkumpulan masa itu disertai oleh para pemuda yang berkosentrasi di lapangan-lapangan, seperti melakukannya di lapangan-lapangan pemerintahan. Pada malam hari mereka tidur di tempat-tempat tersebut. Maka apakah hukum pendudukan ini? Dan apakah ada dasarnya dalam syari'at? (("Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawaabith wa Taujihaat", karya Ibnu ‘Utsaimin, hal 289)
Ia menjawab, "Tidak diragukan bahwa pemogokan ini merupakan salah satu dari cara menekan pemerintah. Dan yang saya ketahui hal ini merupakan import dari [Barat]. Tetapi disadari bahwa semua sarana harus sesuai dengan tujuannya. Dan hukum sarana sama dengan hukum tujuannya. Jika sarana itu bukan sesuatu yang diharamkan. Maka pendudukan ini dihukumi seperti hukum pemogokan, sebagaimana yang sudah dijelaskan."
Fadhilah Syaikh Ibnu jibrin ditanya, "Apa hukumnya menyerukan untuk melakukan pendudukan di masjid-masjid atau tempat semisalnya? Apakah hal itu ada dasarnya dalam syara', terutama Ia dapat memprovokasi orang-orang terhadap para penguasa?"
Ia menjawab, "Al-I'tisham adalah kata yang bermakna baik. Maknanya berpegang teguh kepada kebenaran dan mengamalkannya walaupun untuk memperolehnya mendapatkan kemudharatan atau kesulitan. Sebagaimana firman Allah yang artinya, "Barangsiapa berpegang teguh kepada agama Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." dan "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali agama Allah." (Ali Imran: 101 dan 103)
Kata al-I'tisham terkadang digunakan untuk menjelaskan makna melakukan perlindungan dengannya atau berlindung di dalamnya, seperti berlindung di dalam benteng dan bunker yang kokoh ketika terjadi huru hara atau peperangan.
Adapun masjid-masjid adalah rumah tempat ibadah, yang mana di dalamnya didirikan shalat Jumat dan shalat berjama'ah. Kaum Muslimin berduyun-duyun mendatanginya untuk menunaikan shalat wajib. Hal tersebut tidaklah dinamakan sebagai suatu pendudukan, bahkan itu adalah suatu ketaatan dan suatu pendekatan kepada Allah, serta tidak dikhususkan untuk kelompok tertentu, bahkan setiap Muslimin di setiap waktu hadir di masjid. Setelah melakukan ibadah mereka kembali kepada keluarganya masing-masing. Hal ini tidak dinamakan pendudukan secara khusus.
Memakmurkan masjid-masjid dengan beribadah tidak Mengandung unsur provokasi atas orang umum dan khusus. Tetapi jika di sana ada propaganda untuk bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan sesuatu yang samar, atau untuk melakukan demontrasi dan mengecam, maka hal itu tidak diperbolehkan, bahkan harus dicegah dan ditangkap pelakunya. Kalau bukan digunakan untuk hal seperti itu, maka orang yang akan melakukan kegiatan ibadah di masjid-masjid atau di sekolah-sekolah tidak boleh dicegah. Wallahu A'lam."
Fadhilah Syaikh Ibnu Jibrin ditanya lagi, "Apa pendapat anda dalam masalah pendudukan yang dilakukan sebagian pemuda di sebagian negeri-negeri Islam. Mereka melakukannya di lapangan-lapangan umum atau di gedung-gedung pemerintahan, atau di sebagian masjid-masjid, dengan tujuan untuk menekan pemerintah dan menjatuhkannya, kemudian menggantinya dengan pemerintahan Islam?"
"Terkadang pendudukan ini disertai dengan mogok makan, minum, dan mogok kerja, selama berjam-jam atau berhari-hari, untuk menunjukkan kebenciannya kepada pemerintah. Adakalanya seba-gian dari mereka meninggal dunia karena kelaparan dengan sebab mogok makan itu. Sebagaimana yang terjadi di sebagian penjara di sana."
Ia menjawab, "Setiap hal itu tidak diperbolehkan karena akan mendatangkan kemudharatan bagi jiwa, menganiaya warga negara dan orang-orang tidak berdosa. misalnya pemerintahan memberikan sanksi yang keras terhadap para pemberontak, dan menyamaratakan hukumannya terhadap kebanyakan warga negara, walaupun mereka tidak ikut serta dalam pemogokan itu atau mengingkarinya, dan dalam hal itu terdapat kerusakan yang besar. Dan yang wajib dalam hal ini adalah mereka harus memperbaiki jiwa-jiwa mereka, karena kebaikan seorang pemimpin [terwujud] dengan kebaikan rakyatnya. Dalam suatu hadits, "Sebagaimana kalian ada kalian akan dipimpin." Maka ketika rakyatnya baik, menegakkan syari'at, mengerjakan ibadah, mendengarkan, melakukan ketaatan, menjaga hak-hak Allah, maka Allah akan memperbaiki pemimpin yang mengurus mereka, dan memilih yang terbaik di antara mereka.
Sebagaimana rakyat wajib memperbanyak doa bagi mereka, memohon kepada Allah agar memperbaiki pemimpin yang mengurus mereka, dan agar menjadikan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka Allah wajib mengabulkan doa mereka jika mereka benar-benar ikhlas. Mereka pun memberi nasihat kepada para pemimpin dan mengingatkan mereka terhadap hak-hak Allah, dan memperbaiki perilakunya agar bersikap adil. Dan bagaimana hasilnya? Maka hal itu akan memperbaiki keadaannya dan membuatnya lurus."
Fadhilah Syaikh Ibnu Jibrin ditanya lagi, "Apakah hukumnya melakukan pemberontakan rakyat membeo yang disertai, dengan menghancurkan bangunan-bangunan, mobil-mobil, mencela pemerintah atau keluarganya, serta memukul orang-orang. Terkadang hal itu menyebabkan terjadinya bentrokan antara aparat pemerintah dengan para pendemo, dan tertumpahnya darah karena sebab itu?"
"Kami mengharapkan anda dapat menjelaskan kebenaran dalam masalah yang mengkhawatirkan ini, dan memberikan pengarahan dan nasihat bagi para pemuda Muslim di negeri-negeri Muslimi agar meninggalkan perbuatan ini dan perbuatan caci makinya, dan memusatkannya untuk mendidik manusia terhadap Islam yang benar dan menuntut ilmu?" (Majmu' Fatawa wa Rasail, kaya Syaikh Ibnu Jubair, bab Aqidah (juz II))
Ia menjawab, "Tidak diragukan bahwa pemberontakan ini tidak bersumber dari para ahli ilmu dan ahli kebaikan, karena amanah dan agama yang benar akan mencegah mereka dari melakukan perbuatan yang merusak ini, juga dikarenakan [minimnya] pengetahuan mereka terhadap kehormatan darah kaum Muslimin dan harta mereka. Sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diketengahkan kepada mereka,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian diharamkan." (Potongan dari hadis khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ra Qurban. Dikeluarkan al-Bukhari no.1739, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu. Muslim no.1679 dari Abu bakar radhiallahu ‘anhu.) Yaitu haram [tidak diperbolehkan menumpahkan atau merampasnya. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
"Janganlah kalian kembali kafir setelahku, sebagian dari kalian menebas pundak yang lainnya." (Dikeluarkan al-Bukhari no.7080, Muslim no.65, dari Jabir radhiallahu ‘anhu. Dikeluarkan al-Bukhari no. 7077, Muslim no.66, dari Umar radhiallahu ‘anhu dikeluarkan al-Bukhari no.7078 dari Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dikeluarkan al-Bukhari no.7079, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu.) Dan sabdanya,
سِبَابُ الْمُسْلِم فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
"Mencela seorang Muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kekufuran." (Dikeluarkan al-Bukhari no.48, Muslim 64 dari hadis Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu.)
Tidak diragukan bahwa nama Islam mencakup setiap orang yang beriman dari ahli kiblat, dan tidak dibolehkan mengeluarkannya dari Islam. Dan tidak ada hukum yang menghalalkan darah dan hartanya, walaupun ia berbuat dosa atau kesalahan dari ijtihad, ta'wil, atau memandang kemaslahatannya, dan (walaupun) di dalam menyalahi nash atau dalil. Karena itulah tidak diizinkan berbuat pelanggaran, mengadakan demontrasi dengan teriakan-teriakan jahiliyah, berbuat kerusakan terhadap harta, jiwa, dan buah-buahan, yang dengan sebab ini pemerintah dapat menguasai para pendemo dan membasmi mereka. Maka yang lebih utama adalah mencukupkan dengan memperbaiki jiwa-jiwa mereka dan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Demikian pula dengan memberi nasihat, pengarahan, dan menunjukkan kepada kebaikan dengan cara yang baik, dan berkeinginan untuk mempersatukan kalimat kaum Muslimin, serta menghilangkan di antara mereka dari perbedaan-perbedaan yang menyebabkan kekacauan di tengah masyarakat Islam."
Dan akhirnya, saudaraku sesama Muslim,
Sesudah kita mengetahui hukum peledakan (sabotase) ini, apakah orang yang berakal mau memikirkan hal seperti itu?
Wahai para pemuda, wahai kaum Muslimin,
Jika kalian menghendaki kebaikan, persatuan, dan kekokohan, maka kalian harus berakhlak dengan akhlak para salafus shalih dari umat ini.
Apakah di antara akhlak mereka ada perbuatan seperti itu?
Sesungguhnya kami tidak mendengar mereka melakukan pendudukan, pemogokan, dan pemberontakan yang menghasut. Ketahuilah bahwa perubahan dimulai dari jiwa-jiwa dan tidak akan membutuhkan banyak bantuan, kekuatan informasi, keributan orang yang bertepuk tangan, dan memenuhi lapangan-lapangan dan jalan-jalan dengan banyak kelompok-kelompok yang teriakan-teriakannya memecahkan tenggorokan. (At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fii Istisnaaf al-Hayah al-Islamiyah, hal 128)
Utstadz Muhammad Quthub semoga Allah memberinya taufik, dalam kitabnya, "Waqi'atunaa al-Mu'aashir" (At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fii Istisnaaf al-Hayah al-Islamiyah, hal 136) membicarakan tentang Harakah al-Islamiyah yang terdapat di Mesir, baik secara eksternal dan internal. Ia berkata, "Secara intern mereka tergesa-gesa dalam menampakkan kekuatan jemaahnya, baik dengan melakukan parade bermotor, atau dalam demontrasi dan berjalan kaki. Atau ikut serta dalam percaturan masalah-msalah politik yang bergejolak pada saat itu, seperti memerangi paham komunis. Seakan-akan jemaah ini pada setiap waktu ingin mengatakan, "Kami di sini, kami sanggup berbuat ini...! Sampai kepada perkataannya, "...lepas dari percaturan politik yang bergejolak pada saat itu, bolehkah bagi jemaah Muslimah ikut serta berperan di dalamnya? Atau bahwa kewajibannya adalah menyerukan dengan benar tentang manhaj (petunjuk) kehidupan yang pokok, menegakkannya dengan kokoh, dan menyempurnakan pendidikan yang dituntut- terburu-buru dalam bergerak se belum tiba masanya- akan berakibat Berubahnya kiblat perjuangan.
Wahai kaum Muslimin,
Sesungguhnya semangat yang menyebabkan keributan, hasutan, tanpa hikmah, dan tidak meruju kepada al-Qur'an, as-Sunnah, dan pemahaman salafus shalih, adalah keberanian yang sesat, menyesatkan, dan tidak membawa manfaat. Umat Islam wajib mengetahui bagaimana memikirkannya dan apa yang wajib dilakukan agar terjauh dari perasaan berbantah-bantahan, keberanian yang tidak berarti, pesta besar-besaran, perkara yang bergema! Dan yang lainnya dari banyak cara yang tidak diambil manfaatnya oleh kaum Muslimin-sayang sekali- di antaranya mereka melewati percobaan yang mereka ikut berperan di dalamnya, atau musibah yang mereka jatuh ke dalamnya, sebagai tambahan dari kesulitan yang datang bertubi-tubi. Hasil dari reaksi perasaan dan keberanian seperti itu adalah tidak adanya pentahapan dan kesadaran yang benar terhadap al-Qur'an dan sunnah Nabinya, "Maka adakah orang yang mengambil pelajaran.' (al-Qamar: 15)
KELIMA : FENOMENA KUDETA MILITER
Cara-cara ini cenderung dilakukan untuk menegakkan pemerintahan Islam. Sebagian pemuda pemberani berpendapat bahwa pendidikan umat dan perbaikannya sesungguhnya ada di tangan penguasa dan pemerintah, bukan di tangan dakwah saja. Hal inilah yang menjadikan dakwah berjalan lambat dan menemui hambatan yang besar, ditambah musuh-musuh Islam yang sedang menanti-nanti untuk menggagalkan apa yang sudah mereka capai.
Karena itulah kelompok ini menggunakan senjata dan berpendapat bahwa dengan terpaksa mereka melakukan kudeta militer, menggalang kekuatan dan ancaman sebagai kewajiban Islam, dan kemampuan untuk memimpin masyarakat dari sisi kekuasaan yang berpengaruh.
Terhadap perilaku seperti ini kami menolak dan menyalahkannya, karena hal itu menjadi sebab terjadinya musibah, fitnah, dan kerusakan yang besar. Hal ini sehubungan dengan tidak adanya syarat-syarat terjadinya peperangan Islami di dalamnya seperti adanya Tamayyuz (berpisahnya umat Islam dari orang kafir) dan Indzar (peringatan).
Adapun jika syarat-syarat untuk keluar dari pemerintahan orang-orang yang menampakkan kekufuran yang jelas telah sempurna, maka permasalahan ini telah kita bahas. Ulama umat ini dan ahli al-hill wa al-‘Aqd [pemberi keputusan] telah memberi fatwa tentang wajibnya keluar [memisahkan diri] setelah menyempurnakan persyaratannya. Umat ini sanggup untuk menghilangkan hakim kafir atau pemerintah kafir, dan mendatangkan pemerintahan atau hakim Mus-lim tanpa mendatangkan fitnah. Pemimpin orang-orang yang menghendaki kudeta adalah dari kaum Muslimin yang mempunyai syarat sebagai pemimpin, dan mereka itu dari ahli sunnah wal jamaah dan para ulama memberi fatwa tentang disyari'atkannya kudeta mereka. Maka dalam kondisi seperti ini mereka boleh untuk melakukan [kudeta], seperti bolehnya keluar dengan syarat-syarat.
Adapun jika syarat-syarat tidak ada, maka tidak boleh bagi mereka untuk melakukan kudeta karena hal itu akan memakan korban tanpa alasan yang benar, kemudian sampai pada kekuasaan dengan dukungan basis Islam yang lebih kecil dari jumlah yang seharusnya. Tidak akan dapat melindungi pemerintah Islam yang baru berdiri tidak akan bertahan lama dalam menghadapi musuh baik dari dalam maupun dari luar.
Tidak diragukan bahwa setiap bentrokan dengan kekuasaan dalam contoh ini adalah Sebuah kecerobohan dan tuduhan sembrono dan gegabah yang tidak dipikirkan dan direnungkan. Dan orang yang menghendaki contoh dari apa yang kami katakan, maka renungkanlah tentang sebab-sebab dan hasil pembantaian yang terjadi di Suriah.
Kaum salib zionis telah menggunakan cara-cara kudeta ini dalam bentuk yang paling buruk untuk melawan umat ini. Mereka telah melakukannya di Turki membantu Mushthafa Kemal at-Taturk untuk memperoleh pemerintahan dan menghapus kekhilafahan, kemudian tersebarlah kudeta-kudeta di sana sini. Bagi orang yang berakal harus memikirkan akibat-akibatnya.
Kebanyakan ulama masa kini dan pemikir Muslim mengingkari kudeta militer untuk merubah sistem kepemerintahan karena kondisi yang benar, dan mereka berpendapat bahwa dakwah adalah cara yang terbaik.
Al-‘Allamah al-Albani berkata, "Setiap dakwah (seruan) untuk Islamisasi undang-undang pada masa kerusakan penguasa Hanyalah slogan kosong. Karena tidak termasuk hikmah [bermanfaat] mengatasi hal-hal yang bersifat formalitas, Tetapi yang wajib adalah mengerjakan skala prioritas yang paling utama. Yang paling penting di sini adalah memperbaiki akidah kaum Muslimin, mensucikan ketakwaan, menyerukan kepada hal pokok yang bersih dari bid'ah, dan pendidikan kepada tauhid."
Al-Albani mengecam sebagian aktivis dakwah yang tidak memiliki kesibukan kecuali mendidik para pengikutnya dengan politik dan ekonomi dari hal-hal yang menjadi topik perbincangan sebagian besar penulis buku saat ini, yang di antara mereka ada orang yang tidak mengerjakan shalat, padahal semuanya berusaha untuk mewujudkan masyarakat Islami dan menegakkan hukum Islam. Bagaimana mungkin! Sesungguhnya masyarakat seperti ini tidak mungkin diwujudkan, kecuali jika seruan dimulai seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dakwahnya kepada Allah, dan sesuai dengan yang dijelaskan al-Qur'an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam."
Al-Albani berkata lagi (Ket : Al-Aqidah at-Thahawiyah, syarah dita'liq oleh al-Albani, hal 69.), "Bukanlah termasuk metode penyelamatan yang dibayangkan sebagian orang, yaitu memberontak dengan senjata terhadap pemerintah melalui sarana kudeta militer. Karena di samping cara ini termasuk bid'ah modern ia juga menyalahi nash-nash syari'ah."
Al-‘Allamah Ibnu Jibrin ditanya, "Di sebagian negara terjadi kudeta militer sebagai salah satu cara untuk keluar dari pemerintahan. Cara ini dianggap berhasil saat mereka dapat menjatuhkan hakim [kepala negara], kemudian pemerintahan dikuasai pihak luar. Peristiwa ini telah menumpahkan darah kaum Muslimin. Al-Bani mengatakan bahwa hal ini merupakan bid'ah modern yang tidak diperbolehkan. Kami berharap anda dapat menjelaskan hukum perbuatan ini? (Majmu' Fatawa wa Rasaail al-Syaikh Ibnu Jibrin, al-‘Aqidah, (juz VIII))
Ia menjawab, "Ketika bai'at pengangkatan seorang hakim untuk menjadi pemimpin kaum Muslimin atau suatu negeri dari negeri-negeri maka ia dianggap sebagai pemimpin yang harus ditaati dan diharamkan menentangnya. Terlarang pula melakukan kudeta militer terhadap Ulil Amri dan memberontak kepada para pemimpin kaum Muslimin, yang dengan hal itu menyebabkan terjadinya banyak fitnah, tertumpahnya darah, dan terbunuhnya orang-orang yang tidak berdosa, merusak jiwa dan harta. Tidak diragukan bahwa hal itu diharamkan karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bid'ah modern. Walaupun peristiwa penentangan terhadap Ulil Amri dan Khalifah, pencopotan kekuasaan mereka, dan meninggalkan ketaatan kepada mereka, telah terjadi pada abad-abad permulaan dan setelahnya. Yang dengan hal itu menyebabkan terjadinya fitnah, pembunuhan, dan banyak terjadi musibah, yang menunjukkan kerusakan yang demikian besar.
Karena itulah, para ulama dalam kitab-kitab Aqidah mereka mewajibkan ketaatan kepada Ulil Amri dan bersabar terhadap apa yang timbul dari mereka berupa ketidakadilan dan kezaliman, memberi nasihat dan petunjuk kepada mereka, menjelaskan kebenaran, memperingatkan mereka jika mereka berbuat maksiat, kekerasan, dan menyakiti, mendorong mereka untuk bersikap lembut dan berperilaku baik. Tidak diragukan bahwa mereka akan berubah jika mereka percaya dengan kecintaan dan keikhlasan orang yang memberi nasihat, dan mereka pun akan menerima nasihat dengan baik. Wallahu a'lam.
Al-Maududi berkata (Ket : Kewajiban Pemuda Masa Kini, karya al-Maududi- Resiko Jama'ah Islam.), "Wahai saudara-saudara yang mulia, di akhir ucapanku ini aku akan menyampaikan sebuah nasehat untukmu. Janganlah sekali-kali kamu melakukan suatu kegiatan dengan organisasi rahasia (bawah tanah) untuk mewujudkan tujuan dan jangan pula menggunakan kekejaman, kekerasan dan kekuatan senjata untuk merubah keadaan, karena cara ini merupakan cara terburu-buru yang berupaya untuk sampai pada tujuan dengan jalan pintas. Tentu cara demikian akan berdampak lebih buruk dan akan mendatangkan Banyak mudharat dari semua cara yang lain.
Sesungguhnya cara yang baik dan benar telah dicapai pada masa silam dan akan dicapai pula pada masa yang akan datang dengan menggunakan gerakan-gerakan terbuka (transparan) yang program kegiatannya jelas, sejelas matahari di siang hari. Maka hendaklah dakwahmu disebarluaskan dengan cara terbuka, awalilah langkah dakwahmu dengan membersihkan hati dan akal manusia dari berbagai noda dalam tataran yang seluas-luasnya, tundukkanlah mereka dengan senjata kemuliaan akhlaq dan keutamaan (fadhilah), hadapilah setiap malapetaka dan bencana dengan jiwa pahlawan karena inilah jalan yang memungkinkan kita dapat merubah keadaan sampai ke akar-akarnya, membangun landasan yang kokoh, tiang yang tangguh, yang pada gilirannya akan memberikan sebesar-besarnya manfaat untuk umat serta tidak mungkin kekuatan apapun dapat menghentikan dan menghadapinya.
Menurut pendapatku; sesungguhnya akhir umat ini tidak akan baik kecuali dengan sesuatu yang membuat baik umat terdahulu. Jika kamu ingin buru-buru memperbaikinya dan kamu lakukan perubahan dengan menggunakan kekerasan Kamu berhasil pada batas tertentu, maka keadaannya ibarat udara yang masuk dari satu pintu kemudian keluar dari jendela. Demikianlah beberapa nasihat yang aku sampaikan untuk setiap orang yang menjalankan dakwah dijalan Allah Ta'ala."
Dr.Yusuf al-Qardlawi berkata, "Kaum Mukminin harusnya bekerja dengan serius untuk menyebarkan dakwah dan menyampaikan risalah, tingkatkan kuantitas dan pererat tali persaudaraan serta jelaskan dalil-dalil kepada orang-orang yang menentang, kemudian cari solusi untuk menuntaskannya sehingga dengannya akan dapat kekuatan untuk menghadapi musuh-musuh mereka."
Lalu ia berkata lagi, "Ada beberapa syarat yang harus ada pada diri orang-orang mukmin agar dapat memperoleh pertolongan dan ketenangan. Adapun syarat itu adalah bersabar atas segala yang menyakiti, memiliki jalan yang panjang, dan teguh dalam menghadapi cemoohan dan tantangan."
Pemberlakuan hukum syari'at tidak akan menciptakan perubahan pada umat selama Tidak diiringi oleh perubahan dalam jiwa umat yang seharusnya dapat menjadikan putra putri ini umat ini berada pada tingkat ketinggian syariat ini. Untuk itu, kaum Mukminin membutuhkan dasar yang kuat dan mendalam. Sedangkan waktu dalam hal ini diukur dengan usianya dakwah dan umat, tidak diukur dengan lamanya hidup seseorang.
Tidak diragukan, setiap muslim sangat peduli akan tegaknya negara Islam yang menggunakan hukum dan syari'at Allah saja. Setiap muslim wajib mengerahkan kesungguhannya untuk merealisasikan tujuan yang agung ini, namun adakalanya sebagian media yang digunakan ada yang lebih benar, lebih bermanfaat dari media yang lain. Perlu kita ketahui bahwa menampakkan aktivitas Islami dalam bentuk persaingan untuk menguasai pemerintahan akan berdampak jelek terhadap perjalanan dakwah itu sendiri. Karenanya bukanlah tujuan utama kita, kita menjadi pejabat pemerintah, akan tetapi tujuan utama kita adalah menegakkan hukum Allah dan merealisasikan syari'atnya. Untuk itu, mari kita awali dengan menanamkan aqidah pada jiwa, dan mendidiknya atas dasar nilai-nilai iman serta menghiasi diri dengan akhlaq yang Islami. Kita mohon pertolongan Allah Ta'ala dalam mewujudkan dan merealisasikan kaidah-kaidah keimanan.
"Dan dihari itu bergembiralah orang-orang mukmin, karena pertolongan Allah, dia menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (ar-Ruum: 4 - 5).
Jalan yang nampak lambat dan panjang sekali ini, adalah jalan yang lebih dekat dan lebih cepat serta lebih baik, Insya Allah. (Ket Tahshil adz-Zad li tahqiq al-Jihad, Said Abdul Adhim ; 102-105 dengan beberapa perubahan.)
FOLLOW: @rahmad_syecher
FB: RAHMAD AL HADI SMSY
Previous
Next Post »