Di antara dasar yang dapat membuktikan kesesatan pembagian tauhid ini adalah sabda Rasulullah:
أمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتىّ يَشْهَدُوْا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّيْ رَسُوْل
اللهِ، فَإذَا فَعَلُوْا ذَلكَ عُصِمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وأمْوَالَهُمْ
إلاّ بِحَقّ (روَاه البُخَاريّ)
“Aku diperintah untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Ilâh)
yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah.
Jika mereka melakukan itu maka terpelihara dariku darang-darah mereka
dan harta-harta mereka kecuali karena hak”. (HR al-Bukhari).
Dalam hadits ini Rasulullah
tidak membagi tauhid kepada tiga bagian, beliau tidak mengatakan bahwa
seorang yang mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh” saja tidak cukup untuk
dihukumi masuk Islam, tetapi juga harus mengucapkan “Lâ Rabba Illallâh”.
Tetapi makna hadits ialah bahwa seseorang dengan hanya bersaksi dengan
mengucapkan “Lâ Ilâha Illallâh”, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah maka orang ini telah masuk dalam agama Islam. Hadits ini
adalah hadits mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah
orang dari kalangan sahabat, termasuk di antaranya oleh sepuluh orang
sahabat yang telah medapat kabar gembira akan masuk ke surga. Dan hadits
ini telah diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Tujuan kaum Musyabbihah
membagi tauhid kepada tiga bagian ini adalah tidak lain hanya untuk
mengkafirkan orang-orang Islam ahi tauhid yang melakukan tawassul dengan
Nabi Muhammad, atau dengan seorang wali Allah dan orang-orang saleh.
Mereka mengklaim bahwa seorang yang melakukan tawassul seperti itu tidak
mentauhidkan Allah dari segi tauhid Ulûhiyyah. Demikian pula ketika
mereka membagi tauhid kepada tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât, tujuan
mereka tidak lain hanya untuk mengkafirkan orang-orang yang melakukan
takwil terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât. Oleh karenanya, kaum Musyabbihah
ini adalah kaum yang sangat kaku dan keras dalam memegang teguh zhahir
teks-teks Mutasyâbihât dan sangat “alergi” terhadap takwil. Bahkan
mereka mengatakan: “al-Mu’aw-wil Mu’ath-thil”; artinya seorang yang
melakukan takwil sama saja dengan mengingkari sifat-sifat Allah. Na’ûdzu
Billâh.
Dengan hanya hadits shahih
di atas, cukup bagi kita untuk menegaskan bahwa pembagian tauhid kepada
tiga bagian di atas adalah bid’ah batil yang dikreasi oleh orang-orang
yang mengaku memerangi bid’ah yang sebenarnya mereka sendiri ahli
bid’ah. Bagaimana mereka tidak disebut sebagai ahli bid’ah, padahal
mereka membuat ajaran tauhid yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh
orang-orang Islam?! Di mana logika mereka, ketika mereka mengatakan
bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup, tetapi juga harus dengan
pengakuan tauhid Rubûbiyyah?! Bukankah ini berarti menyalahi hadits
Rasulullah di atas?! Dalam hadits di atas sangat jelas memberikan
pemahaman kepada kita bahwa seorang yang mengakui ”Lâ Ilâha Illallâh”
ditambah dengan pengakuan kerasulan Nabi Muhammad maka cukup bagi orang
tersebut untuk dihukumi sebagai orang Islam. Dan ajaran inilah yang
telah dipraktekan oleh Rasulullah ketika beliau masih hidup. Apa bila
ada seorang kafir bersaksi dengan ”Lâ Ilâha Illallâh” dan ”Muhammad
Rasûlullâh” maka oleh Rasulullah orang tersebut dihukumi sebagai seorang
muslim yang beriman. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk
melaksanakan shalat sebelum memerintahkan kewajiban-kewajiban lainnya;
sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh al-Imâm
al-Bayhaqi dalam Kitâb al-I’tiqâd. Sementara kaum Musyabbihah di atas
membuat ajaran baru; mengatakan bahwa tauhid Ulûhiyyah saja tidak cukup,
ini sangat nyata telah menyalahi apa yang telah diajarkan oleh
Rasulullah. Mereka tidak paham bahwa ”Ulûhiyyah” itu sama saja dengan
”Rubûbiyyah”, bahwa ”Ilâh” itu sama saja artinya dengan ”Rabb”.
Kemudian kita katakan pula
kepada mereka; Di dalam banyak hadits diriwayatkan bahwa di antara
pertanyaan dua Malaikat; Munkar dan Nakir yang ditugaskan untuk bertanya
kepada ahli kubur adalah: ”Man Rabbuka?”. Tidak bertanya dengan ”Man
Rabbuka?” lalu diikutkan dengan ”Man Ilahuka?”. Lalu seorang mukmin
ketika menjawab pertanyaan dua Malaikat tersebut cukup dengan hanya
berkata ”Allâh Rabbi”, tidak harus diikutkan dengan ”Allâh Ilâhi”.
Malaikat Munkar dan Nakir tidak membantah jawaban orang mukmin tersebut
dengan mengatakan: ”Kamu hanya mentauhidkan tauhid Rubûbiyyah saja, kamu
tidak mentauhidkan tauhid Ulûhiyyah!!”. Inilah pemahaman yang dimaksud
dalam hadits Nabi tentang pertanyaan dua Malaikat dan jawaban seorang
mukmin dikuburnya kelak. Dengan demikian kata ”Rabb” sama saja dengan
kata ”Ilâh”, demikian pula ”tauhid Ulûhiyyah” sama saja dengan ”tauhid
Rubûbiyyah”.
Dalam kitab Mishbâh al-Anâm, pada pasal ke dua, karya al-Imâm Alawi ibn Ahmad al-Haddad, tertulis sebagai berikut:
”Tauhid Ulûhiyyah masuk
dalam pengertian tauhid Rubûbiyyah dengan dalil bahwa Allah telah
mengambil janji (al-Mîtsâq) dari seluruh manusia anak cucu Adam dengan
firman-Nya ”Alastu Bi Rabbikum?”. Ayat ini tidak kemudian diikutkan
dengan ”Alastu Bi Ilâhikum?”. Artinya; Allah mencukupkannya dengan
tauhid Rubûbiyyah, karena sesungguhya sudah secara otomatis bahwa
seorang yang mengakui ”Rubûbiyyah” bagi Allah maka berarti ia juga
mengakui ”Ulûhiyyah” bagi-Nya. Karena makna ”Rabb” itu sama dengan makna
”Ilâh”. Dan karena itu pula dalam hadits diriwayatkan bahwa dua
Malaikat di kubur kelak akan bertanya dengan mengatakan ”Man Rabbuka?”,
tidak kemudian ditambahkan dengan ”Man Ilâhuka?”. Dengan demikian sangat
jelas bahwa makna tauhid Rubûbiyyah tercakup dalam makna tauhid
Ulûhiyyah.
Di antara yang sangat
mengherankan dan sangat aneh adalah perkataan sebagian pendusta besar
terhadap seorang ahli tauhid; yang bersaksi ”Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad
Rasulullah”, dan seorang mukmin muslim ahli kiblat, namun pendusta
tersebut berkata kepadanya: ”Kamu tidak mengenal tahuid. Tauhid itu
terbagi dua; tauhid Rubûbiyyah dan tauhid Ulûhiyyah. Tauhid Rubûbiyyah
adalah tauhid yang telah diakui oleh oleh orang-orang kafir dan
orang-orang musyrik. Sementara tauhid Ulûhiyyah adalah adalah tauhid
murni yang diakui oleh orang-orang Islam. Tauhid Ulûhiyyah inilah yang
menjadikan dirimu masuk di dalam agama Islam. Adapun tauhid Rubûbiyyah
saja tidak cukup”. Ini adalah perkataan orang sesat yang sangat aneh.
Bagaimana ia mengatakan bahwa orang-orang kafir dan orang-orang musyrik
sebagai ahli tauhid?! Jika benar mereka sebagai ahli tauhid tentunya
mereka akan dikeluarkan dari neraka kelak, tidak akan menetap di sana
selamanya, karena tidak ada seorangpun ahli tauhid yang akan menetap di
daam neraka tersebut sebagaimana telah diriwayatkan dalam banyak hadits
shahih. Adakah kalian pernah mendengar di dalam hadits atau dalam
riwayat perjalanan hidup Rasulullah bahwa apa bila datang kepada beliau
orang-orang kafir Arab yang hendak masuk Islam lalu Rasulullah merinci
dan menjelaskan kepada mereka pembagian tauhid kepada tauhid Ulûhiyyah
dan tauhid Rubûbiyyah?! Dari mana mereka mendatangkan dusta dan bohong
besar terhadap Allah dan Rasul-Nya ini?! Padalah sesungguhnya seorang
yang telah mentauhidkan ”Rabb” maka berarti ia telah mentauhidkan
”Ilâh”, dan seorang yang telah memusyrikan ”Rabb” maka ia juga berarti
telah memusyrikan ”Ilâh”. Bagi seluruh orang Islam tidak ada yang berhak
disembah oleh mereka kecuali ”Rabb” yang juga ”Ilâh” mereka. Maka
ketika mereka berkata ”Lâ Ilâha Illallâh”; bahwa hanya Allah Rabb mereka
yang berhak disembah; artinya mereka menafikan Ulûhiyyah dari selain
Rabb mereka, sebagaimana mereka menafikan Rubûbiyyah dari selain Ilâh
mereka. Mereka menetapkan ke-Esa-an bagi Rabb yang juga Ilâh mereka pada
Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan pada segala perbuatan-Nya; artinya tidak
ada keserupaan bagi-Nya secara mutlak dari berbagai segi”.
(Masalah): Para ahli bid’ah
dari kaum Musyabbihah biasanya berkata: ”Sesungguhnya para Rasul diutus
oleh Allah adalah untuk berdakwah kepada umatnya terhadap tauhid
Ulûhiyyah; yaitu agar mereka mengakui bahwa hanya Allah yang berhak
disembah. Adapun tauhid Rubûbiyyah; yaitu keyakinan bahwa Allah adalah
Tuhan seluruh alam ini, dan bahwa Allah adalah yang mengurus segala
peristiwa yang terjadi pada alam ini, maka tauhid ini tidak disalahi
oleh seorang-pun dari seluruh manusia, baik orang-orang musyrik maupun
orang-orang kafir, dengan dalil firman Allah dalam QS. Luqman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)
“Dan jika engkau bertanya
kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi?
Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
(Jawab): Perkataan mereka
ini murni sebagai kebatilan belaka. Bagaimana mereka berkata bahwa
seluruh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik sama dengan
orang-orang mukmin dalam tauhid Rubûbiyyah?! Adapun pengertian ayat di
atas bahwa orang-orang kafir mengakui Allah sebagai Pencipta langit dan
bumi adalah pengakuan yang hanya di lidah saja, bukan artinya bahwa
mereka sebagai orang-orang ahli tauhid; yang mengesakan Allah dan
mengakui bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Terbukti bahwa mereka
menyekutukan Allah, mengakui adanya tuhan yang berhak disembah kepada
selain Allah. Mana logikanya jika orang-orang musyrik disebut sebagai
ahli tauhid?! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir yang
hendak masuk Islam bahwa di dalam Islam terdapat dua tauhid; Ulûhiyyah
dan Rubûbiyyah! Rasulullah tidak pernah berkata kepada seorang kafir
yang hendak masuk Islam bahwa tidak cukup baginya untuk menjadi seorang
muslim hanya bertauhid Rubûbiyyah saja, tapi juga harus bertauhid
Ulûhiyyah! Oleh karena itu di dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang
perkataan Nabi Yusuf saat mengajak dua orang di dalam penjara untuk
mentauhidkan Allah:
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرّقُوْنَ خَيْرٌ أمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهّار (يوسف: 39
”Adakah rabb-rabb yang
bermacam-macam tersebut lebih baik ataukah Allah (yang lebih baik) yang
tidak ada sekutu bagi-Nya dan yang maha menguasai?!” (QS. Yusuf: 39).
Dalam ayat ini Nabi Yusuf menetapkan kepada mereka bahwa hanya Allah sebagai Rabb yang berhak disembah.
Perkataan kaum Musyabbihah dalam
membagi tauhid kepada dua bagian, dan bahwa tauhid Ulûhiyyah (Ilâh)
adalah pengakuan hanya Allah saja yang berhak disembah adalah pembagian
batil yang menyesatkan, karena tauhid Rubûbiyyah adalah juga pengakuan
bahwa hanya Allah yang berhak disembah, sebagaimana yang dimaksud oleh
ayat di atas. Dengan demikian Allah adalah Rabb yang berhak disembah,
dan juga Allah adalah Ilâh yang berhak disembah. Kata “Rabb” dan kata
“Ilâh” adalah kata yang memiliki kandungan makna yang sama sebagaimana
telah dinyatakan oleh al-Imâm Abdullah ibn Alawi al-Haddad di atas.
Dalam majalah Nur al-Islâm,
majalah ilmiah bulanan yang diterbitkan oleh para Masyâyikh al-Azhar
asy-Syarif Cairo Mesir, terbitan tahun 1352 H, terdapat tulisan yang
sangat baik dengan judul “Kritik atas pembagian tauhid kepada Ulûhiyyah
dan Rubûbiyyah” yang telah ditulis oleh asy-Syaikh al-Azhar al-‘Allamâh
Yusuf ad-Dajwi al-Azhari (w 1365 H), sebagai berikut:
[[“Sesungguhnya pembagian
tauhid kepada Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah adalah pembagian yang tidak
pernah dikenal oleh siapapun sebelum Ibn Taimiyah. Artinya, ini adalah
bid’ah sesat yang telah ia munculkannya. Di samping perkara bid’ah,
pembagian ini juga sangat tidak masuk akal; sebagaimana engkau akan
lihat dalam tulisan ini. Dahulu, bila ada seseorang yang hendak masuk
Islam, Rasulullah tidak mengatakan kepadanya bahwa tauhid ada dua macam.
Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa engkau tidak menjadi muslim
hingga bertauhid dengan tauhid Ulûhiyyah (selain Rubûbiyyah), bahkan
memberikan isyarat tentang pembagian tauhid ini, walau dengan hanya satu
kata saja, sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Demikian
pula hal ini tidak pernah didengar dari pernyataan ulama Salaf; yang
padahal kaum Musyabbihah sekarang yang membagi-bagi tauhid kepada
Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah tersebut mengaku-aku sebagai pengikut ulama
Salaf. Sama sekali pembagian tauhid ini tidak memiliki arti. Adapun
firman Allah:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَيَقُولَنَّ اللهُ (لقمان: 25)
“Dan jika engkau bertanya
kepada mereka siapakah yang menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi?
Maka mereka benar-benar akan menjawab: “Allah” (QS. Luqman: 25)
Ayat ini menceritakan perkataan
orang-orang kafir yang mereka katakan hanya di dalam mulut saja, tidak
keluar dari hati mereka. Mereka berkata demikian itu karena terdesak
tidak memiliki jawaban apapun untuk membantah dalil-dalil kuat dan
argumen-argumen yang sangat nyata (bahwa hanya Allah yang berhak
disembah). Bahkan, apa yang mereka katakan tersebut (pengakuan ketuhanan
Allah) ”secuil”-pun tidak ada di dalam hati mereka, dengan bukti bahwa
pada saat yang sama mereka berkata dengan ucapan-ucapan yang menunjukan
kedustaan mereka sendiri. Lihat, bukankah mereka menetapkan bahwa
penciptaan manfaat dan bahaya bukan dari Allah?! Benar, mereka adalah
orang-orang yang tidak mengenal Allah. Dari mulai perkara-perkara sepele
hingga peristiwa-peristiwa besar mereka yakini bukan dari Allah,
bagaimana mungkin mereka mentauhidkan-Nya?! Lihat misalkan firman Allah
tentang orang-orang kafir yang berkata kepada Nabi Hud:
إِن نَّقُولُ إِلاَّ اعْتَرَاكَ بَعْضُ ءَالِهَتِنَا بِسُوءٍ (هود: 54)
”Kami katakan bahwa tidak lain engkau telah diberi keburukan atau dicelakakan oleh sebagian tuhan kami” (QS. Hud: 54).
Sementara Ibn Taimiyah
berkata bahwa dalam keyakinan orang-orang musyrik tentang
sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak memberikan manfaat dan
bahaya sedikit-pun. Dari mana Ibn Taimiyah berkata semacam ini?!
Bukankah ini berarti ia membangkang kepada apa yang telah difirmankah
Allah?! Anda lihat lagi ayat lainnya dari firman Allah tentang
perkataan-perkataan orang kafir tersebut:
وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا
ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا للهِ
بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَاكَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ
فَلاَيَصِلُ إِلَى اللهِ وَمَاكَانَ للهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى
شُرَكَآئِهِمْ (الأنعام: 136)
”Lalu mereka berkata sesuai
dengan prasangka mereka: ”Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami”. Maka sajian-sajian yang diperuntukan bagi berhala-berhala mereka
tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukan bagi Allah
maka sajian-sajian tersebut sampai kepada berhala mereka” (QS. al-An’am:
136).
Lihat, dalam ayat ini
orang-orang musyrik tersebut mendahulukan sesembahan-sesembahan mereka
atas Allah dalam perkara-perkara sepele.
Kemudian lihat lagi ayat lainnya tentang keyakinan orang-orang musyrik, Allah berkata kepada mereka:
و َمَانَرَى مَعَكُمْ شُفَعَآءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاؤُا (الأنعام: 94)
”Dan Kami tidak melihat
bersama kalian para pemberi syafa’at bagi kalian (sesembahan/berhala)
yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu tuhan di antara
kamu”(QS. al-An’am: 94).
Dalam ayat ini dengan sangat
nyata bahwa orang-orang kafir tersebut berkeyakinan bahwa
sesembahan-sesembahan mereka memberikan mafa’at kepada mereka. Itulah
sebabnya mengapa mereka mengagung-agungkan berhala-berhala tersebut.
Lihat, apa yang dikatakan
Abu Sufyan; ”dedengkot” orang-orang musyrik di saat perang Uhud, ia
berteriak: ”U’lu Hubal” (maha agung Hubal), (Hubal adalah salah satu
berhala terbesar mereka). Lalu Rasulullah menjawab teriakan Abu Sufyan:
”Allâh A’lâ Wa Ajall” (Allah lebih tinggi derajat-Nya dan lebih Maha
Agung).
Anda pahami teks-teks ini
semua maka anda akan paham sejauh mana kesesatan mereka yang membagi
tauhid kepada dua bagian tersebut!! Dan anda akan paham siapa
sesungguhnya Ibn Taimiyah yang telah menyamakan antara orang-orang Islam
ahli tauhid dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala tersebut,
yang menurutnya mereka semua sama dalam tauhid Rubûbiyyah!”]].
ConversionConversion EmoticonEmoticon