oleh: Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Bagian Ketujuh
PAHAM KEWAHYUAN MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH
Pada dasarnya spiritual manusia
menghendaki petunjuk yang dapat memenuhi tuntutan batiniahnya. Tuntutan
tersebut tidak lain adalah berupa ide-ide eskatologis yang
transendental, yang tidak mungkin dipecahkan secara rasional. Tentunya
pemecahan kebutuhan tersebut haruslah melalui berita-berita langit yang
dikenal sebagai wahyu. Dalam kaitan ini, G. G.Anawati, seorang spesialis
terkenal dalam bidang pemikiran Islam, dari Kairo menjelaskan:
Pada hakikatnya agama itu terdiri dari
wahyu dan tafsirnya. Wahyu adalah pasti dan tetap, karena ia merupakan
pernyataan kehendak Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak. Sedangkan
tafsir yang merupakan tanggapan nurani manusia terhadap wahyu.
Berabad-abad wahyu bertahan tanpa mengalami perubahan sedikit pun,
sedangkan tafsir dalam perjalanan masa sering mendapat tekanan baik dari
luar maupun dari dalam, dan pada setiap tahapan sejarah memberikan
cirinya pada masyarakat.1)
Dalam al-Quran, memang banyak digunakan
kata "wahyu" dalam bentuk kata benda atau dalam bentuk kata kerja untuk
berbagai pernyataan. Apabila term wahyu ini dikembalikan kepada
pengertian teologi Islam, tentunya dapat diambil dua pengertian dasar
yaitu: Wahyu Syari'ah dan wahyu bukan Syari'ah atau identik dengan
istilah ilham. Pengertian wahyu yang kedua inilah sering oleh sementara
kelompok dalam Islam menganggapnya sebagai wahyu yang masih tetap akan
turun, walau sepeninggal Nabi Muhammad. Anggapan tersebut tidak hanya
sampai di situ saja, akan tetapi, mereka memfungsikan ilham tersebut dan
meyakininya sebagai wahyu Syari'ah.
A. AL-QURAN DAN PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM
Mayoritas ummat Islam sepakat bahwa
wahyu Syari'ah yang diturunkan oleh Tuhan hanya untuk para rasul, agar
diajarkan kepada ummat mereka masing-masing. Apabila kerasulan itu sudah
diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW., maka tentunya setiap
Muslim harus yakin bahwa wahyu Syari'ah itu tidak akan turun lagi. Dan
yang bisa berkembang bukanlah wahyu itu, tetapi interpretasi atau
tafsirnya, wahyu yang masih bersifat global itu perlu ditafsirkan dan
diaktualisasikan penafsirannya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan
zaman.
Mengenai al-Quran, ummat Islam pada
prinsipnya menerima Kitab Suci tersebut untuk dijadikan pedoman dan
rujukan dalam pelbagai persoalan keagamaan dan ilmu pengetahuan dan
disamping itu, ia diyakini sebagai yang memiliki nilai kebenaran
normatif mutlak, sedangkan hadis Nabi, menduduki ranking kedua sesudah
al-Quran. Golongan Sunni yang merupakan mayoritas ummat Islam, telah
menerima konsensus para sahabat di zaman Khalifah Usman, yang telah
berhasil mendewakan kembali al-Quran dalam bentuk yang seragam yang
dikenal dengan Mushaf al-Quran. Mushaf ini, dijadikan standar bagi
penulisan al-Quran selanjutnya, sesudah ummat Islam dihadapkan pada
tantangan besar yang akan membawa mereka pada perpecahan karena
persengketaan mengenai Kitab Sucinya, sebagai yang dialami oleh
ummat-ummat sebelum Islam.
Barangkali perlu dipahami, bahwa sebelum
pekerjaan besar tersebut dimulai oleh Khalifah 'Usman, pada umumnya
para sahabat Nabi telah memiliki mushaf yang mereka tulis sendiri.
Kadang-kadang pada mushaf mereka itu banyak dijumpai kalimat dalam
ayat-ayat tertentu terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya.
Seperti mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf Ibn Mas'ud, mushaf Ibn 'Abbas,
dan lain sebagainya. Dr. Subhi Salih menjelaskan dalam kitabnya,
Mabahis fi 'Ulumil-Quran, bahwa Ibn Mas'ud adalah salah seorang sahabat
yang paling segan membakar mushaf pribadinya, sesudah Mushaf 'Usmani
diterima sebagai mushaf standar oleh ummat Islam saat itu, sampai Allah
mengilhamkan kepadanya untuk kembali kepada pendapat 'Usman yang
hakikatnya merupakan pendapat ummat, di mana Mushaf standar tersebut,
ditulis oleh sebuah team ahli yang ditunjuk oleh Khalifah dapat
memperkokoh persatuan dan melenyapkan sebab-sebab perselisihan.2 Untuk
itu, terlebih dahulu akan dibahas mengenai:
1. AL-QURAN SEBAGAI MUJIZAT NABI MUHAMMAD
Al-Quran sebagai firman atau wahyu
Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat
Jibril. Kata "wahyu" adalah kata benda, dan bentuk kata kerjanya adalah
auha-yuhi, arti kata wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan
cepat.3 Selanjutnya dijelaskan bahwa pengertian wahyu sebagai ilham,
banyak dipakai dalam al-Qur-an dengan berbagai ungkapan seperti
contoh-contoh di bawah ini:
a. Kata "wahyu" dapat bermakna ilham
secara fitri atau kodrati, sebagaimana Allah mengilhamkan kepada Nabi
Musa a.s., sebagaimana juga Allah mengilhamkan kepada kaum Hawari, lihat
S. al-Qasas: 7; dan S. Al-Ma'idah: 111.
b. Kata "wahyu" bermakna ilham yang
bersifat instinktif untuk binatang, sebagaimana Allah mengilhamkan
kepada sejenis lebah, lihat S. an-Nahl: 68.
c. Juga bisa bermakna perintah Allah
kepada Malaikat Jibril, untuk mengerjakan perintah itu dengan cepat
seperti dalam firman-Nya S. al-Anfal: 12, dan S. an-Najm: 10.
d. Arti wahyu bisa berupa isyarat cepat
atau dengan jalan memberi tanda disertai dengan isyarat seperti apa yang
dilakukan oleh Nabi Zakariyya kepada kaumnya, lihat S. Maryam: 11.
e. Bisa berarti pula ilham syaitan yang
berupa perintah melakukan tipu daya, atau untuk melakukan sesuatu
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah atau agama, seperti
dalam firman Allah S. al-An'am: 112, 121.4
Demikian arti kata wahyu yang
dipergunakan dalam berbagai risalah yang berupa syari'at, seperti yang
biasa kita pahami selama ini, juga memiliki arti yang lain sebagaimana
yang dijelaskan diatas. Dalam hubungan ini, Muhammad 'Abduh berpendapat
bahwa pengertian wahyu dalam istilah mesti berbeda dengan ilham. Wahyu,
demikian Muhammad 'Abduh, adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang
dari hadapan Allah, baik dengan perantara maupun tidak, baik dengan
suara atau tidak, tetapi ia yakin bahwa ia (wahyu) itu datang dari
Allah. Berbeda dengan ilham, yaitu perasaan yang diyakini oleh jiwa yang
menggerakkannya kepada sesuatu yang dicari, tanpa disadari dari mana
datangnya.5 Tentunya Muhammad 'Abduh, sepaham dengan golongan Sunni,
bahwa wahyu sebagai yang dimaksudkan diatas, tidak akan turun lagi
sesudah Nabi Muhammad wafat.
Penjelasan diatas, secara tegas
menunjukkan kepada kita, bahwa pengertian wahyu haruslah dibedakan
dengan pengertian ilham, demikian umumnya paham kewahyuan kaum Sunni.
Bagi mereka, wahyu itu, hanya untuk para nabi dan rasul Allah, dan tidak
mungkin lagi turun sesudah Rasulullah Muhammad SAW. Dan untuk manusia
biasa, hanyalah diberi ilham atau kasysyaf dalam teori kaum Sufi, dimana
seseorang, apabila dia telah mencapai kebersihan jiwa, maka dia dapat
melihat apa yang tak terlihat oleh orang biasa. Oleh sebab itu, kiranya
dapat disimpulkan bahwa ilham atau kasysyaf, tidak sampai ke derajat
wahyu atau ke tingkat kenabian. Dengan demikian, untuk memahami al-Quran
guna memimpin ummat, tidak diperlukan lagi wahyu sebagaimana paham
Syi'ah dan Ahmadiyah. Sebab Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, S.
al-Qiyamah: 19. "Kemudian menjadi kewajiban Kami (menerangkan)
penjelasannya." Maksudnya, jika al-Quran itu dibaca dengan
sungguh-sungguh dan direnungkan maknanya, maka Allah akan mengilhamkan
maksud ayat yang dibacanya itu, sekiranya Allah menghendakinya.
Adapun kemukjizatan al-Quran, para ahli
teologi Islam sepakat bahwa al-Quran adalah merupakan mukjizat yang
paling besar dan abadi bagi Nabi Muhammad SAW. Sebab terbukti sampai
hari ini belum ada seorang pun yang mampu menjawab tantangan al-Quran
baik secara keseluruhan maupun hanya sepuluh surah, bahkan diturunkan
menjadi satu surah saja. Dengan demikian, kenyataan seperti itu
membuktikan akan kebenaran risalah dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai
utusan Allah.
Memang al-Quran disamping susunan
ayat-ayatnya yang puitis, gaya bahasa dan paramasastranya yang tinggi,
juga ungkapan kalimatnya yang padat dan berisi yang mengungkapkan
berbagai informasi bagi ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku atas
semua ciptaan-Nya. Kenyataan yang demikian ini, tidak mungkin bisa
dicipta oleh manusia yang ummi (tidak mengenal tulis-baca) sebagai yang
dialami oleh Rasulullah.
Dalam kaitan kemukjizatan ini,
an-Nazzam, seorang tokoh Muktazilah, sebagaimana pula halnya al-Murtada
dari golongan Syi'ah sependapat, bahwa kemukjizatan al-Quran itu adalah
bis-Sarfah. Arti sarfah disini menurut an-Nazzam yaitu Allahtelah
memalingkan orang-orang Arab untuk menentang al-Quran sekalipun mereka
mampu melakukannya. Dan sarfah ini terjadi secara luar biasa. Akan
tetapi, sarfah dalam pengertian al-Murtada adalah Allah telah mencabut
pengetahuan mereka untuk menentang al-Quran dengan mendatangkan al-Quran
tandingan.6 Tampaknya pendapat diatas, oleh sementara pakar Muslim
ditolak, sedangkan argumen sarfah tersebut tertolak pula oleh pemyataan
al-Quran S. al-Isra': 88, yaitu bahwa yang ditentang itu adalah untuk
mencipta karya semisal al-Quran, tidak hanya pada bangsa manusia saja,
tetapi juga dari bangsa jin, sekalipun mereka harus bekerja sama dalam
menjawab tantangan itu.
2. PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM
Pada dasarnya paham kewahyuan ummat
Islam adalah senada, baik dari golongan Khawarij, Murji'ah, Syi'ah
Zaidiyyah, Muktazilah, Ahlu Sunnah, dan golongan al-Maturidiyyah, selain
Syi'ah Imamiyah dan sekte-sekte Syi'ah lainnya yang ekstrem, disamping
aliran Ahmadiyah. Tentunya kita ingin bertanya mengapa di kalangan ummat
Islam sampai terjadi demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu
dicari faktor-faktor penyebabnya, motivasi-motivasi yang tersembunyi,
dan situasi intern ummat Islam sendiri pada saat itu.
Barangkali perlu dijelaskan disini,
bahwa sebelum adanya usaha penulisan al-Quran kembali dalam bentuk
seragam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah 'Usman ibn
'Aff'an, sehingga muncullah Mushaf al-Quran yang diakui dan diterima
oleh ummat Islam dan dijadikan sebagai mushaf standar untuk seluruh
ummat Islam, memang harus diakui adanya beberapa mushaf yang ditulis
oleh beberapa orang sahabat Nabi, yang berbeda satu dengan yang lain.
Seperti mushaf 'Umar ibn Khattab, mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf
'A'isyah, Hafsah, mushaf 'Abdullah ibn 'Abbas, dan Ibn Mas'ud, dan lain
sebagainya Sebagai ilustrasi adanya perbedaan-perbedaan dalam
mushaf-mushaf tersebut, dengan mushaf 'Usmani, adalah sebagai berikut.
Coba bandingkan antara mushaf yang kita miliki sekarang dengan
mushaf-mushaf lainnya seperti pada mushaf 'Umar terdapat kalimat:
Pada mushaf 'A'isyah terdapat kalimat:
Dan pada mushaf 'Abdullah ibn Masud, seperti:
Dalam perbedaan-perbedaan tersebut
diatas, tampaknya mushaf Ibn Mas'ud, lebih banyak daripada mushaf-mushaf
sahabat yang lain, apabila dibandingkan dengan teks al-Quran yang kita
miliki sekarang yaitu mushaf-mushaf 'Usmani, demikian Sya'ban.7 Oleh
sebab itu, di kala mushaf-mushaf sahabat itu dikumpulkan untuk
dimusnahkan oleh Khalifah 'Usman, agar nantinya tidak menimbulkan
ketegangan dan permusuhan intern ummat Islam, sesudah Mushaf 'Usmani
yang disepakati sebagai mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, maka
yang paling keras reaksinya terhadap rencana Khalifah tersebut adalah
Ibn Mas'ud, dan ia enggan membakar mushaf pribadinya. Seandainya
'Abdullah ibn Mas'ud tersebut, tetap mempertahankan pendiriannya, tentu
ia merupakan kendala utama bagi terwujudnya kesatuan ummat Islam.
B. PAHAM KEWAHYUAN KAUM SYI'AH
Kaum Syi'ah yang dimaksud disini adalah
lebih dikhususkan kepada golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Mengingat
aliran ini, sangat besar pengaruhnya dan tampak mau berkembang di
Indonesia, Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini sekarang berpusat di Iran, dengan
keberhasilan mereka mendirikan negara Republik Islam Iran yang
dipelopori oleh Ayatullah Khumaini, sesudah ia dapat merebut kekuasaan
Sah Iran, Riza Pahlevi pada 11 Februari 1979.
Sebagaimana telah diuraikan diatas,
bahwa saat terbentuknya paham Syi'ah, tampak lebih banyak ditentukan
oleh masalah politik. Kekalahan yang bertubi-tubi, banyak imam-imam
mereka yang menjadi korban kekerasan politik dinasti Umayyah, dan
gerakan-gerakan perlawanan mereka dapat ditumpas. Dalam kondisi yang
demikian itulah golongan ini menjadi antipati terhadap Bani Umayyah yang
pada hakikatnya mereka dipandang sebagai golongan Sunni. Di sisi lain,
juga berakibat timbulnya sikap yang eksklusivistik pada aliran Syi'ah
ini, dan sikap seperti ini, tampak sangat menonjol dalam
doktrin-doktrinnya yang kontroversial.
1. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KEIMAMAN
Paham kewahyuan Syi'ah, rupanya tidak
bisa terlepas dari masalah keimaman, Keimaman bagi mereka merupakan
sesuatu yang paling fundamental dalam ajaran Syi'ah, karena itu, status
keimaman bagi kaum Syi'ah tidak jauh berbeda dengan status kenabian.
Setiap imam Syi'ah, dalam hal ini adalah Syi'ah Isna 'Asyariyyah,
dipandang ma'sum yakni terjaga atau suci dari dosa. Para imam itu, bagi
kaum Syi'ah selalu diyakini sebagai tokoh yang senantiasa mendapat
bimbingan wahyu dari Tuhan, sebagaimana halnya dengan Syi'ah yang gullah
atau ekstrem, seperti Syi'ah Mufaddiliyyah, Syi'ah al-Qariyyah yang
beranggapan bahwa wahyu dan nabi itu tidak pernah terhenti sampai hari
kiamat. Menurut aliran al-Mufaddiliyyah, apabila sifat ketuhanan telah
menyatu dalam diri seseorang, maka dia adalah nabi, namun jika ia
menyeru kepada manusia untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya, maka dia
adalah rasul. Akan tetapi, bagi golongan al-Qariyyah beranggapan, bahwa
orang yang belum mencapai derajat insan Kamil (manusia sempurna),
kadang-kadang ia dapat juga menerima wahyu, yaitu wahyu ta'lim (wahyu
pengajaran).8 Konsep wahyu ta'lim ini senada dengan konsep kewahyuan
golongan Ahmadiyah yang dikenal dengan wakyu muhaddas, wahyu walayah
atau wahyu tajdid yaitu wahyu yang diperoleh secara berdialog dengan
Tuhan, wahyu kewalian atau wahyu pembaharuan.
2. HUBUNGANNYA DENGAN SIKAP SYI'AH YANG EKSKLUSIVISTIK
Sikap seperti ini boleh jadi karena kaum
Syi'ah selalu mengkultuskan para imam mereka. Sikap merasa benar
sendiri tersebut rupanya didorong keinginan hak-hak legitimasi
kekhilafahan. Karena itulah kaum Syi'ah tidak segan-segan menuduh kaum
Sunni, suka memanipulasikan hadis-hadis dan ayat-ayat al-Quran yang
menyangkut kepentingan Ahlul-Bait Nabi, maksudnya adalah 'Ali ibn Abi
Talib. Sangat boleh jadi sikap yang eksklusivistik tersebut bermula dari
rasa fanatisme kelompok. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima
kebenaran dari pihak lain, dan tentunya mereka akan mempertahankan paham
mereka sekalipun keliru atau menyimpang dari prinsip-prinsip keislaman.
Selain itu, mereka juga memakai dalil-dalil atau bukti-bukti baik
rasional maupun tekstual yang mungkin sulit diterima oleh pihak lain.
Dalam hubungan ini, sikap antipati kaum
Syi'ah terhadap golongan Bani Umayyah yang semula berpangkal pada
masalah khilafah, namun kemudian berkembang pada masalah-masalah lain
diluar masalah politik. Sebagai akibat praktis dari sikap yang
bermusuhan tadi, kaum Syi'ah yang datang kemudian, tidak mau lagi
mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Ketiga Khalifah
tersebut dalam pandangan kaum Syi'ah dianggap sebagai
penyerobot-penyerobot hak-hak Ahlul-Bait, yaitu hak 'Ali untuk menjadi
Khalifah pertama. Oleh sebab itu, usaha penulisan kembali al-Quran
dimasa Abu Bakr kemudian disempurnakan penulisannya kembali dalam
bentuknya yang seragam oleh Khalifah 'Usman, dan hasilnya telah diterima
dan diakui oleh suluruh ummat Islam, demikian pula telah diakui juga
oleh 'Ali ibn Abi Talib, namun bagi pengikut Syi'ah tetap tidak mau
menerima dan mengakui sebagai mushaf satu-satunya yang harus diyakini
keotentikannya. Penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini
rupanya merupakan bukti nyata dari rencana global Ibn Saba' yang
berpura-pura memihak 'Ali ibn Abi Talib, untuk meruntuhkan kejayaan
Islam dari dalam dengan memecah-belah ummat Islam dan dengan meracuni
akidah mereka.
Penolakan kaum Syi'ah diatas, berbeda
dengan sikap 'Ali sendiri yang mengakui dan memuji akan kebenaran dan
kemuliaan usaha 'Usman dalam mengantisipasi perpecahan diantara ummat
Islam dengan mengatakan: "Seandainya aku yang menjadi khalifah, tentu
akan aku lakukan sebagaimana yang dilakukan Usman.9 Yaitu mengadakan
penulisan kembali al-Quran dalam bentuk yang seragam sebagai yang telah
diupayakan oleh Khalifah Ketiga. Dengan demikian, penolakan kaum Syi'ah
terhadap Mushaf 'Usmani tampak lebih diorientasikan pada kepentingan
politik mereka terhadap golongan Sunni. Bahkan mereka, demikian
ad-Dihlawi, melemparkan tuduhan-tuduhan kepada tokoh tokoh dan para
pemimpin Sunni seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sebagai telah
memanipulasi surah-surah dan ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat yang
berkaitan dengan keutamaan-keutamaan Ahlul-Bait seperti Surah
al-Walayah dan sebagainya.10 Untuk itu, perlu disini disajikan sebuah
contoh dari Surah Walayah yang diyakini kaum Syi'ah, bahwa surah itu
sengaja dibuang oleh kaum Sunni, karena mereka, demikian tuduhan Syi'ah,
menganggap surah tersebut memuat keutamaan 'Ali ibn Abi Talib. Dalam
Kitab Quran versi Syi'ah Persia, Surah Walayah ini dicantumkan, dan
dikutip oleh ad-Dihlawi dalam sebuah bukunya yang berjudul: Mukhtasar
at-Tuhfah al-Isna 'Asyariyyah halaman 33 adalah sebagai berikut:
Dari kenyataan-kenyataan diatas, dapat
diduga bahwa penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini
dikarenakan para penulisnya bukan dari "pihak 'Ali ibn Abi Talib." Jika
kaum Syi'ah menerima mushaf tersebut, berarti mereka harus mengakui
eksistensi kekhilafahan sebelum 'Ali, dan yang demikian itu, bagi Syi'ah
berarti kekalahannya dan kemenangan di pihak kaum Sunni. Dan sebagai
konsekuensi penolakan tersebut, maka sebagai alternatif terakhir ialah
kaum Syi'ah harus berpegang pada mushaf 'Ali ibn Abi Talib, atau yang
dikenal dengan "mushaf Fatimah." Kemudian, apakah mereka sudah merasa
puas dengan penolakan itu? Tidak, mereka juga membuat kedustaan lain
selain pada al-Quran. Al-Kulaini, demikian nama seorang tokoh Syi'ah
yang mereka sejajarkan dengan al-Bukhari, dalam meriwayatkan hadis-hadis
dari imam-imam Syi'ah sebenarnya hanya rekayasa al-Kulaini sendiri
dengan mencatut beberapa nama dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib, dalam
meriwayatkan "hadis-hadis" versi Syi'ah, dan ia mengatakan bahwa dirinya
telah meriwayatkan (hadis} dari Hisyam ibn Salim dan 'Abdullah:
"Sesungguhnya al-Quran yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW., adalah 17.000 ayat. Demikian pula hadis yang diriwayatkannya dari
Hakam ibn 'Utaibah, ia berkata: 'Ali Zainal Abidin ibn Husain telah
membaca sebuah ayat al-Quran yang berbunyi demikian:
"Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus seorang rasul dan nabi tidak pula mengutus seorang muhaddas sebelum kamu Muhammad ..."11
Selanjutnya ia berkata: "Ali ibn Abi
Talib adalah seorang muhaddas." Disini 'Ali, oleh kaum Syi'ah dianggap
sebagai seorang yang dapat berdialog langsung dengan Tuhan, karenanya ia
mendapat wahyu muhaddas, sebagaimana keyakinan orang Ahmadiyah terhadap
Mirza Ghulam Ahmad. Jelaslah disini bahwa penggunaan istilah wahyu
muhaddas oleh Ahmadiyah, rupanya telah lebih dahulu digunakan oleh
golongan Syi'ah. Dengan demikian jelaslah bagi kita, betapa besar
pengaruh ajaran Syi'ah ke dalam aliran Ahmadiyah dan pengaruh tersebut
tampak lebih dominan terutama dalam masalah kewahyuan dan kenabian.
Pengaruh tersebut, sangat boleh jadi lewat ajaran kaum Sufi Syi'ah di
daerah dimana Mirza Ghulam Ahmad tinggal atau dibesarkan.
Pemusnahan mushaf-mushaf pribadi di
kalangan sahabat Nabi, dan hanya Mushaf 'Usmani saja yang diakui sebagai
mushaf standar rupanya mendorong kaum Syi'ah untuk mempertahankan
mushaf 'Ali, kemudian mushaf 'Ali tersebut, mereka tambah ayat-ayatnya
menjadi 17.000 ayat. Sesudah itu mereka melemparkan tuduhan terhadap
lawan-lawan politiknya Seorang pengarang kitab Faslul-Kitab fi Isbati
Kitabi Rabbil-Arbab, yang bernama Husain ibn Muhammad Taqi an-Nuri
at-Tabarisi, menuduh para pembesar sahabat seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan
'Usman, telah mengubah al-Quran dengan menghilangkan sebagian dari
surah-surah dan ayat-ayatnya yang berkenaan dengan keutamaan Ahlul Bait,
juga mengenai perintah untuk mengikuti Ahlul-Bait, serta larangan
memusuhinya. Sebagai yang dicontohkan dalam Surah al-Insyirah, dimana
salah satu ayatnya menurut mereka dibuang oleh kaum Sunni, yaitu ayat:
Disamping itu mereka juga berkeyakinan
bahwa dalam Mushaf 'Usmani ada surah yang panjang yang dibuang, yang
mereka namakan sebagai Surah al-Walayah.12
Paham kewahyuan Syi'ah tersebut
menunjukkan kepada kita betapa menyimpangnya pemahaman mereka tentang
al-Quran, apabila dibandingkan dengan pemahaman kaum Sunni. Karena sikap
mereka yang eksklusif inilah yang mendorong mereka menghalalkan
cara-cara yang telah diharamkan oleh Islam, yaitu dengan menambah-nambah
ayat atau surah dalam al-Quran, sehingga mereka berpendirian bahwa
al-Quran yang sekarang berada di tangan ummat Islam adalah palsu,
demikian kaum Syi'ah. Adapun al-Quran yang benar adalah al-Quran yang
diambil melalui imam-imam mereka. Selanjutnya ad-Dihlawi menambahkan,
golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah melarang pada para pengikutnya,
berdalil dengan menggunakan Mushaf 'Usmani sebab menurut pendirian
mereka bahwa mushaf tersebut adalah:
1. Kalimat-kalimatnya yang telah diubah
atau dihilangkan sebagian surah-surahnya, demikian pula tentang tertib
urut sebagian surah-surahnya ("tidak asli lagi").
2. Penulisan Mushaf 'Usmani mereka
ibaratkan seperti penulisan Kitab Taurat dan Injil. Karena sebagian
penulisnya adalah kaum munafiq dan penipu agama.
3. Bahwa Kitab Taurat dan Injil telah
di-nasakh (digantikan) oleh al-Quran. Sedangkan al-Quran yang beredar
sekarang banyak sekali yang telah dirusak. Dan tidak seorang pun yang
mengerti (keaslian) Kitab al-Quran ini kecuali tiga orang imam Syi'ah.
Siapa tiga orang yang dimaksud itu, tampaknya sulit diketahui, sebab
sumber itu tidak menyebutkan atau mengisyaratkannya.13
Demikian pendirian kaum Syi'ah dalam mempertahankan paham kewahyuan mereka dan tampak bertolak belakang dengan paham kaum Sunni.
C. PAHAM KEWAHYUAN AHMADIYAH
Aliran Ahmadiyah yang tampak berkembang
dengan subur di Indonesia, pada dasarnya mempunyai beberapa kesamaan
dengan paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama paham kewahyuan
dari Ahmadiyah Qadiani. Kaum Qadiani lebih ekstrem daripada Ahmadiyah
Lahore dalam mempertahankan "ajaran" Mirza Ghulam Ahmad, sedangkan
Ahmadiyah Lahore tampak lebih moderat. Kota Qadian adalah tempat
dibesarkannya Mirza Ghulam Ahmad, kota tersebut merupakan bagian dari
wilayah Punjab - India dan di kawasan India inilah tempat berlangsungnya
pertemuan agama-agama besar - Hindu, Budha, Islam, dan Kristen - yang
membawa budaya serta tradisi yang beraneka ragam. Selain itu, ia juga
berdampingan dengan Persia yang menjadi pusat kegiatan Syi'ah Isna
'Asyariyyah. Dengan demikian, perkembangan Islam di kawasan ini sudah
barang tentu mendapatkan corak tertentu yang penuh inovasi (kebid'ahan)
dan pengaruh Syi'ah tentunya cukup dominan lewat para propagandisnya
yang berbaju mistik atau tarekat. Sebab dengan mistik dan tarekat inilah
ajaran-ajaran agama yang sudah berbau Syi'ah, lebih mudah diserap oleh
masyarakat Muslim India.
Apabila kondisi kehidupan keagamaan
masyarakat Islam di India saat itu dikaitkan dengan kehidupan Mirza
Ghulam Ahmad, yang tampaknya tidak banyak mengenyam pendidikan di kala
mudanya, maka sudah tidak pelak lagi, bahwa Mirza dalam menerima ajaran
Islam kurang bahkan tidak selektif -mana Islam yang murni dan mana pula
Islam yang ajarannya sudah ternodai berbagai kebid'ahan- sehingga
ajaran-ajarannya sulit diterima oleh golongan Sunni sampai hari ini.
Sebelum ia diyakini dan dipropagandakan oleh pengikut-pengikut setianya
sebagai nabi, rupanya Mirza lebih tampak sebagai pengikut Sunni daripada
ia sebagai seorang Syi'i, demikian dalam berbagai pernyataannya untuk
menghadapi serangan lawan-lawannya, sesudah ia memproklamasikan dirinya
sebagai al-Masih atau al-Mahdi yang dijanjikan.14
Pengakuannya sebagai 'Isa al-Masih,
sedangkan al-Masih. Yang dijanjikan itu adalah seorang nabi, dan seorang
nabi dalam menerima ajaran-ajaran dan Tuhan adalah melalui wahyu, maka
lantaran pengertian yang terakhir inilah lahir paham kewahyuan dalam
Ahmadiyah, yang bertentangan dengan paham kewahyuan golongan Sunni,
namun banyak persamaannya dengan paham kewahyuan golongan Syi'ah Isna
'Asyariyyah.
Adapun faktor-faktor yang membentuk paham kewahyuan golongan Ahmadiyah ini, antara lain adalah sebagai berikut:
1. HUBUNGANNYA DENGAN IDE PEMBAHARUANNYA
Cita-cita pembaharuan yang dicanangkan
oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai tokoh pendiri aliran baru dalam Islam,
yaitu Ahmadiyah, rupanya ingin menyatukan atau menghimpun tiga kekuatan
agama besar -Islam, Hindu, dan Nasrani- dibawah pengaruh
kepemimpinannya, adalah merupakan masalah besar yang justru akan
membawanya kedalam suatu dilema terhadap ide pembaharuannya sendiri.
Pengakuannya sebagai penjelmaan dari tiga tokoh karismatik yakni sebagai
al-Mahdi, 'Isa al-Masih., dan sebagai Krishna, jelas menunjukkan adanya
pengaruh kemahdian Syi'ah lewat hadis-hadis maudu' atau palsu yang
dicipta oleh propagandis-propagandisnya atau hadis-hadis da'if (lemah)
yang banyak dimuat dalam Kitab-Kitab Sunan.
Dalam kaitan ini, dapatkah Mirza dengan
pengakuan kekrishnaannya memurtadkan warga Hindu dari agama mereka, dan
dengan kemasihannya, dapatkah Mirza menggoyahkan keimanan kaum Nasrani
saat itu? Dan dengan pengakuannya sebagai al-Mahdi yang menerima wahyu,
justru menimbulkan pertentangan pendapat intern ummat Islam yang membawa
pada perpecahan yang dirasakan sampai saat ini. Kaum Ahmadiyah
berpendirian bahwa nabi dan wahyu itu masih tetap akan turun sampai
kapan pun, karena keduanya sangat diperlukan oleh ummat manusia
sepanjang zaman. Pengertian wahyu seperti ini memang diperlukan untuk
menafsirkan wahyu tasyri' yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi
Muhammad, guna memperoleh pemahaman yang aktual seirama dengan tuntutan
zamannya. Pemahaman seperti ini, tidak jauh berbeda dengan pemahaman
kaum Syi'ah. Menurut golongan terakhir ini, bahwa seorang imam bagi
mereka ibarat mandataris Nabi Mulhammad SAW., yang harus menuntun dan
melindungi ummatnya, untuk itu diperlukan petunjuk langsung dari Tuhan
yaitu apa yang mereka namakan sebagai wahyu, lihat kembali pada halaman
115 di atas.
Dugaan sementara orang, bahwa wahyu itu
benar-benar sudah terhenti sesudah Nabi Muhammad, demikian Nazir Ahmad
seorang tokoh Ahmadiyah Qadian, dan Allah tidak berfirman lagi kepada
manusia, anggapan seperti itu adalah salah sama sekali. Karena wahyu
adalah sesuatu yang dapat menghilangkan keragu-raguan, menambah
pengetahuan, dan menyembuhkan hati yang luka. Oleh sebab itu, wahyu
tidak dikhususkan kepada nabi saja, dan kadang-kadang Allah berfirman
kepada selain nabi, sebagaimana dalam firman-Nya S. asy-Syura: 51:
"Dan tiadalah Allah berfirman kepada
manusia kecuali dengan (perantaraan) wahyu atau dari balik hijab (tabir
pemisah antara alam fisik dengan alam gaib)."
Kata libasyarin dalam ayat diatas, Nazir
Ahmad menafsirkannya sebagai manusia apakah dia seorang nabi atau
bukan, sebagaimana wahyu yang diterima oleh ibu Nabi Musa, kaum Khawari,
dan Maryam, ibu Nabi 'Isa.15
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa
kata wahyu dalam al-Quran, banyak dipakai dalam berbagai ungkapan dan
tidak selalu diartikan sebagai firman Allah kepada para rasul atau nabi,
tetapi digunakan untuk pengertian yang lain seperti: ilham, memberi
isyarat dan lain sebagainya. Sebab, kalau setiap kata wahyu selalu
diartikan sebagai firman Tuhan kepada nabi dan rasul, maka di dalam
al-Quran juga ada ayat sepertidalam Surah al-An'am: 121, yang apabila
diartikan seperti pengertian diatas, maka pengertiannya jauh sama sekali
dari maksud yang sebenarnya. Disinilah tampak beberapa kelemahan
argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut Ahmadiyah.
Demikian pula ayat atau hadis-hadis yang dijadikan dalil tampak kurang
logis, karena diinterpretasikan sesuai dengan keyakinan mereka.
Dari uraian diatas, jelas bagi kita
bahwa ide pembaharuan Mirza Ghulam Ahmad, tidak bisa terlepas dari
masalah kewahyuan, sekalipun wahyu yang diterimanya itu berbeda dengan
wahyu yang diterima oleh Rasulullah. Namun demikian, ide pembaharuan
yang direalisasikannya adalah merupakan faktor pendorong lahirnya paham
kewahyuan baru yang kontroversial.
2. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KENABIANNYA
Doktrin kenabian dalam Ahmadiyah rupanya
sulit dipisahkan dengan paham kewahyuannya. Jika paham kenabian Syi'ah
Isna 'Asyariyyah bermula dari masalah keimaman, maka paham kenabian
Ahmadiyah terfokus pada masalah kemasihan yang dijanjikan. Sebagaimana
dijelaskan dimuka, paham kenabian Ahmadiyah memang memberi pengertian
baru yang senada dengan paham Syi'ah yaitu bahwa nabi itu akan terus
diutus oleh Tuhan tanpa batas waktu. Akan tetapi, agaknya berbeda
mengenai tugas kenabiannya. Terutama tugas kenabian Mirza Ghulam Ahmad
disamping sebagai Hakim Pengislah (juru damai), dia juga bertugas untuk
membunuh Dajjal. Sebab Nabi 'Isa yang dahulu pernah diutus oleh Tuhan
kepada Bani Israil, telah wafat secara alami, sebagai yang dinyatakan
dalam sebuah karyanya:
"... Dan di antara kunci pengajaran dan
pemberian pemaharnanNya, bahwa al-Masih ibn Maryam benar-benar telah
wafat secara alami sebagaimana halnya saudara-saudaranya kaum Muslimin.
Dan Allah telah memberi kabar gembira kepadaku dan telah berfirman:
"Sesungguhnya al-Masih yang dijanjikan dan al-Mahdi yang berbahagia yang
ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan, dia adalah engkau." Kami (Allah)
berbuat apa yang Kami kehendaki, maka janganlah engkau membuat
kedustaan. Dan (Tuhan) berfirman pula: "Sungguh Kami telah menjadikan
kamu sebagai al-Masih ibn Maryam ..."16
Informasi tentang wafatnya 'Isa ibn
Maryam secara wajar memang dapat diterima secara rasional. Informasi
seperti ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang diyakini oleh
pengikut golongan 'Asyariyyah yang beranggapan bahwa 'Isa al-Masih itu
masih hidup hingga sekarang, dan dia akan turun lagi menjelang hari
Kiamat untuk membunuh Dajjal. Keyakinan seperti ini, tampaknya dilandasi
oleh paham Masyi'atullah (kehendak mutlak Tuhan) diluar jangkauan akal
manusia. Akan tetapi, jika kepercayaan tersebut dikembalikan pada
komitmen ahli-ahli teologi Islam, bahwa keyakinan itu harus didasarkan
pada al-Quran dan hadis mutawatir yakni hadis yang memfaedahkan yakin
maka tidaklah menjadi kafir bagi orang yang mengingkari pendapat
Asyariyyah tersebut. Sebab dasar atau dalil untuk meyakini bahwa 'Isa
al-Masih itu masih hidup dan akan turun kembali ke dunia untuk membunuh
Dajjal, hanyalah hadis sahih yang memfaedahkan zan atau dugaan. Oleh
sebab itu, keyakinan tentang masih hidup atau sudah wafatnya 'Isa
al-Masih bukanlah rukun iman, dan karenanya tidak perlu diangkat ke
permukaan sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan bisa
membawa perpecahan ummat Islam.
Adapun pegangan dasar kaum Ahmadiyah
adalah al-Qur-an, Mushaf 'Usmani - hadis Bukhari dan Muslim, serta
kitab-kitab hadis lainnya, disamping ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu
sendiri. Pengakuan sebagai mujaddid (pembaharu) kemudian pengakuan Mirza
sebagai 'Isa, disamping pengakuannya dapat berdialog langsung dengan
Tuhan adalah merupakan faktor penyebab lahirnya paham kenabian
Ahmadiyah. Mujaddid dalam pengertian Mirza, bukan diangkat oleh manusia,
tetapi harus diangkat oleh Tuhan sebagaimana dalam pernyataannya:
"Hai kaumku! Sesungguhnya (ajaranku) itu
dari Allah, sungguh (ajaranku) itu dari Allah, sungguh (ajaranku) itu
dari Allah. Dan aku bersaksi kepada Tuhanku, bahwa sesungguhnya
(ajaranku) dari Allah. Aku beriman kepada-Nya, dan kepada Kitab-Nya
al-Furqan, serta kepada apa yang telah ditetapkan pada (Nabi Muhammad)
penghulu manusia dan jin. Sungguh aku telah diutus (oleh Allah) pada
abad ini untuk mengadakan pembaharuan pada agama dan menyinarkan wajah
agama itu. Dan atas yang demikian itu, Allahlah saksinya, dan Allah pun
mengetahui siapa yang celaka dan siapa yang bahagia."17
Penyataan Mirza diatas, oleh Ahmadiyah
Qadiani dianggap sebagai wahyu, dan diyakininya sebagai meyakini
al-Quran atau hadis Nabi, demikian R. Batuah, pengikut sekte Qadiani di
Indonesia. Selanjutnya ia menyatakan: Mirza Ghulam Ahmad harus didengar
dan ditaati ajaran-ajarannya.18 Sebaliknya orang yang mengingkari ajaran
Mirza berarti ia mengingkari seluruh ajaran al-Quran, namun bagi sekte
Lahore tidak demikian keyakinannya, boleh jadi ajaran Mirza dijadikan
sebagai pemacu gerakan dakwahnya saja di kalangan kaum Nasrani di dunia.
Pernyataan Mirza sebagai seorang yang dapat berdialog langsung dengan
Tuhan layaknya seorang rasul yang menerima wahyu adalah demikian:
"Aku tidak pernah mengatakan kepada
manusia, kecuali apa yang telah aku tulis dalam kitabku, bahwasanya aku
adalah muhaddas dan Allah berbicara dengan aku sebagaimana Allah
berbicara dengan para muhaddasin. Dan Allah mengetahui bahwa Dia telah
memberiku pangkat ini, maka bagaimana aku (dapat) menolak apa yang telah
diberikan Allah kepadaku? Dan dia telah memberiku rizki apakah aku
(harus) berpaling dari limpahan (anugerah) Tuhan, Pencipta dan
Pemelihara alam semesta ini?"19
Mungkin orang akan mempersoalkan apakah
paham kenabian diatas, sebagai yang dilontarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad
dapatkah paham itu dikategorikan sebagai pembaharuan dalam Islam? Atau
justru sebaliknya yaitu sebagai bid'ah 'akidah? Apabila didalam Surah
as-Saf: 6, Nabi 'Isa a.s. menginformasikan kepada pengikutnya, akan
datang seorang rasul bernama Ahmad sesudahnya nanti, ini bukan berarti
nama Ahmad tersebut untuk Mirza Ghulam Ahmad, tetapi yang dimaksudkan
adalah Nabi Muhammad. Ibn 'Abbas adalah salah seorang ulama sahabat,
yang lebih mengerti mengenai maksud ayat:
"... dan (Isa) memberi kabar gembira akan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, bemama Ahmad ..."
Dalam kaitan ini Ibn 'Abbas dalam kitab
tafsirnya, tidak menjelaskan adanya nama lain selain nama Rasulullah
Muhammad. Rupanya paham kenabian Ahmadiyah ini bermula dan doktrin
kewahyuannya.
Setelah kita mengikuti uraian diatas,
dapatlah disimpulkan bahwa paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah dan
paham kewahyuan Ahmadiyah adalah tidak jauh berbeda, secara garis
besarnya perbedaan kedua paham kewahyuan tersebut, hanyalah terletak
pada aspek motivasi gerakan yang melatarbelakanginya.
Gerakan Syi'ah lebih diwarnai oleh
motif-motif politis, sedangkan gerakan Ahmadiyah, ditandai oleh
motif-motif ide pembaharuannya. Jika paham kewahyuan Syi'ah bermuara
pada masalah keimaman, maka dalam Ahmadiyah paham kewahyuannya bermuara
pada masalah kemahdian atau kemasihan Mirza Ghulam Ahmad. Akan tetapi
jika kita lihat dari aspek-aspek yang lain, kedua paham kewahyuan
diatas, dapat dikatakan berpangkal pada prinsip-prinsip yang serupa.
Yaitu keduanya beranggapan bahkan berkeyakinan bahwa untuk membimbing
ummat manusia masih diperlukan wahyu Allah atau petunjuk dari Tuhan yang
baru berupa wahyu.
Term wahyu yang dimaksud oleh kedua
golongan itu, bukanlah wahyu seperti yang ada dalam al-Quran, tetapi
wahyu yang lain. Di kalangan Syi'ah dikenal adanya wahyu ta'lim,
sedangkan di kalangan Ahmadiyah dikenal dengan wahyu walayah, wahyu
tajdid, atau wahyu muhaddas. Baik kaum Syi'ah maupun Ahmadiyah, keduanya
memiliki tokoh-tokoh utamanya yang dikenal sebagai al-Mahdi yang
merupakan tokoh legendaris yang dapat berhubungan dengan Tuhan, untuk
menerima firman-firmanNya. Oleh sebab itu, kedua golongan ini
berkeyakinan bahwa wahyu tetap akan turun sampai kapan pun. Demikian
pula kehadiran seorang nabi juga tidak terbatas pada kurun waktu
tertentu. Dalam kaitan ini, apakah al-Mahdi itu identik dengan nabi?
tidak dibahas dalam tulisan ini. Oleh karena konsep kenabian dan
kewahyuan tersebut muncul lebih dahulu di kalangan Syi'ah, maka konsep
kenabian dan kewahyuan Ahmadiyah banyak mendapat pengaruh dari ajaran
Syi'ah.
ConversionConversion EmoticonEmoticon